Oleh : Suardi / PMH I
Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah
hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad
yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat
dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan
koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum
Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah
pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah.
Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang
berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul
Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih.
Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke
negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam
beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya
dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan
al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi,
anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam
menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka
taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat
tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh
ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh
mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat
itu. Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam,
termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari
para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para
sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial
keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli,
Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar
serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten
dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat
yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para
ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam—
setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum
positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di
ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di
negara mereka. Pelaksanaan
hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat
sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat
kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di
daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui
dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan
Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari
berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya
masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni
orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang
tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini. Berbagai suku yang datang ke
Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya
mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih
menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu
daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat
orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani
berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum
Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar
diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih
hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda
mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar
pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa
hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah
tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium
Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium
Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab,
diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya
menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil
dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek
yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa
itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu
menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa. Di
pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu
melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren,
demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana
terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah
menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam
struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan
fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa
dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di
bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya
benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum
kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah
hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum
Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan
itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar
kedua pendukung hukum itu. Fenomena benturan seperti digambarkan di atas,
nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi
hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya
berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam
yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum
adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara
damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk
melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat.
Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh
pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas
antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang
melatarbelakanginya serta asas-asasnya. Hasil telaah akademis ini
sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah
Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan,
atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat
ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum
Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan
menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka
kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131
jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa
bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda
untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina
dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat
suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang
dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap
sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi
yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori
resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu.
Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli
hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi
hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap
menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam
dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran
jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara
Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti
disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus
pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya
ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD
1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam
sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan
bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di
dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan
mayoritas. Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya
adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya
atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan
Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada
dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau
kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang,
sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik
Indonesia. Setelah kita
merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara
untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan
hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya
berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga
negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang
tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui
pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi
berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan
proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk
mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat
lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman,
kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan
persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma
hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata
peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan
perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang
dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek
van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma
hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan,
sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk
memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan
Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum. Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Kebijakan Pembangunan Hukum. Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum,
undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah
sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif,
dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata,
tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma
hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang
dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang
pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan
sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi
warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak
tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik
penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang
hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar
yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak
tertulis itu. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para
perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor
filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan
bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup,
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam
merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh
karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang
saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk
dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan
semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat
menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum,
walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan
dan pandangan.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada
manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan
segala persoalan. Wallahu’alam bissawwab.
Gontor. Kampus Siman 14 September 2013
0 comments:
Post a Comment